This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Senin, 26 September 2011
10 misteri alam semesta
02.48
reza fajrullah MA CILENGA
No comments
10. Antimateri
Seperti
sisi jahat Superman, Bizzaro, partikel (materi normal) juga mempunyai
versi yang berlawanan dengan dirinya sendiri yang disebut antimateri.
Sebagai contoh, sebuah elektron memiliki muatan negatif, namun
antimaterinya positron memiliki muatan positif. Materi dan antimateri
akan saling membinasakan ketika mereka bertabrakan dan massa mereka
akan dikonversi ke dalam energi melalui persamaan Einstein E=mc2. Beberapa desain pesawat luar angkasa menggabungkan mesin antimateri.
9. Radiasi Kosmik Latarbelakang
Radiasi
ini disebut juga Cosmic Microwave Background (CMB) yang merupakan sisa
radiasi yang terjadi saat Big Bang melahirkan alam semesta. Pertama
kali dideteksi pada dekade 1960 sebagai noise radio yang nampak
tersebar di seluruh penjuru alam semesta. CBM dianggap sebagai bukti
terpenting dari kebenaran teori Big Bang. Pengukuran yang akurat oleh proyek WMAP menunjukkan bahwa temperatur CMB adalah -455 derajat Fahrenheit (-270 Celsius).
8.Ekstrasolar Planet (Exoplanet)
Hingga
awal 1990an, kita hanya mengenal planet di tatasurya kita sendiri.
Namun, saat ini astronom telah mengidentifikasi lebih dari 200
ekstrasolar planet yang berada di luar tata surya kita. Pencarian bumi
kedua tampaknya belum berhasil hingga kini. Para astronom umumnya
percaya bahwa dibutuhkan teknologi yang lebih baik untuk menemukan
beberapa dunia seperti di bumi.
7. Neutrino
Neutrino
merupakan partikel elementer yang tak bermassa dan tak bermuatan yang
dapat menembus permukaan logam. Beberapa neutrino sedang menembus
tubuhmu saat membaca tulisan ini. Partikel “phantom” ini diproduksi di
dalam inti bintang dan ledakan supernova. Detektor
diletakkan di bawah permukaan bumi, di bawah permukaan laut, atau ke
dalam bongkahan besar es sebagai bagian dari IceCube, sebuah proyek
khusus untuk mendeteksi keberadaan neutrino.
6. Mini Black Hole
Jika teori gravitasi “braneworld” yang baru dan radikal terbukti benar, maka ribuan mini black holes tersebar di tata surya kita, masing-masing berukuran sebesar inti atomik. Tidak seperti black hole pada umumnya, mini black hole ini merupakan sisa peninggalan Big Bang dan mempengaruhi ruang dan waktu dengan cara yang berbeda.
5. Energi Vakum
Fisika
Kuantum menjelaskan kepada kita bahwa kebalikan dari penampakan, ruang
kosong adalah gelembung buatan dari partikel subatomik “virtual” yang
secara konstan diciptakan dan dihancurkan. Partikel-partikel
yang menempati tiap sentimeter kubik ruang angkasa dengan energi
tertentu, berdasarkan teori relativitas umum, memproduksi gaya
antigravitasi yang membuat ruang angkasa semakin mengembang. Sampai
sekarang tidak ada yang benar-benar tahu penyebab ekspansi alam semesta.
4. Gelombang Gravitasi (Gravity Waves)
Gelombang gravitasi merupakan distorsi struktur ruang-waktu yang diprediksi oleh teori relativitas umum Albert Einstein.
Gelombangnya menjalar dalam kecepatan cahaya, tetapi cukup lemah
sehingga para ilmuwan berharap dapat mendeteksinya hanya melalui
kejadian kosmik kolosal, seperti bersatunya dua black hole
seperti pada gambar di atas. LIGO dan LISA merupakan dua detektor yang
didesain untuk mengamati gelombang yang sukar dipahami ini.
3. Materi Gelap (Dark Matter)
Para ilmuwan berpendapat bahwa materi gelap (dark matter)
merupakan penyusun terbesar alam semesta, namun tidak dapat dilihat dan
dideteksi secara langsung oleh teknologi saat ini. Kandidatnya
bervariasi mulai dari neotrino berat hingga invisible black hole. Jika dark matter benar-benar ada, kita masih harus membutuhkan pengetahuan yang lebih baik tentang gravitasi untuk menjelaskan fenomena ini.
2. Quasar
Quasar
tampak berkilau di tepian alam semesta yang dapat kita lihat. Benda ini
melepaskan energi yang setara dengan energi ratusan galaksi yang
digabungkan. Bisa jadi quasar merupakan black hole yang sangat besar sekali di dalam jantung galaksi jauh. Gambar ini adalah quasar 3C 273, yang dipotret pada 1979.
1.Tabrakan Antar Galaksi
Ternyata
galaksi pun dapat saling “memakan” satu sama lain. Yang lebih
mengejutkan adalah galaksi Andromeda sedang bergerak mendekati galaksi Bima Sakti
kita. Gambar di atas merupakan simulasi tabrakan Andromeda dan galaksi
kita , yang akan terjadi dalam waktu sekitar 3 milyar tahun.
Sabtu, 24 September 2011
seberapa liberralkah?
23.30
reza fajrullah MA CILENGA
No comments
“Budhy dalam buku ini memetakan kembali
pemikiran Islam liberal dalam enam kategori. Pertama, melawan gagasan
negara Islam dan variannya. Kedua, mendukung gagasan demokrasi. Ketiga,
membela keadilan gender dan hak-hak perempuan. Keempat, mempromosikan
pluralisme dan hak-hak minoritas. Kelima, membela kebebasan berpikir,
dan keenam, membela gagasan kemajuan. Buku ini juga mengupas tentang
prinsip-prinsip etis Islam liberal seperti keadilan, kemaslahatan,
pembebasan-kebebasan, persaudaraan universal, perdamaian dan etika kasih
sayang, di samping juga menjelaskan tentang prinsip metodis terkait
dengan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Rumadi menilai, dari
semua isu Islam dan liberalisme itu, wilayah hukum Islam menjadi isu
yang paling kontroversial dan bahkan sulit untuk ditembus.”
Harus diakui, pasca fatwa MUI tahun 2005 lalu, ruang gerak untuk
mewacanakan Islam dan liberalisme makin menyempit. Namun begitu,
kampanye ide-ide kebebasan dalam Islam tidak berarti mati sama sekali.
Buku bertajuk Islam dan Liberalisme, karya Budhy Munawar Rachman yang
baru-baru ini dibedah di gedung Teater Utan Kayu adalah sebagai salah
satu buktinya. Diterbitkan oleh FNS, menurut Muhamad Husni Tamrin, sudah sejak lama ia mencari suatu tulisan yang khusus mendiskusikan tema Islam dan liberalisme di Indonesia. Sama halnya dengan delegasi FNS di beberapa negara muslim Timur Tengah dan Turki, menurut Mone, begitu panggilan akrab Muhamad Husni Tamrin, FNS Indonesia juga bermaksud menerbitkan sendiri buku bertema liberalisme dalam perspektif Islam. Nah, ketika melihat buku Budhy lainnya yang juga pernah dibedah di TUK berjudul Reorientasi Pembaruan Islam—selanjutnya disebut Reorientasi— dimana salah satu bagiannya memuat diskusi tentang Islam dan liberalisme, Mone tertarik dan meminta untuk menjadikannya sebuah buku tersendiri.
Bedah buku Islam dan Liberalisme di TUK pada 21 Juli 2011 menghadirkan dua pembicara: Dr. Rumadi (pemerhati pemikiran Islam dan peneliti The Wahid Institute) dan Luthfi Assaukanie Phd (pemerhati liberalisme dan mantan koordinator JIL).
Rumadi memulai presentasinya dengan komentar terhadap buku Islam dan Liberalisme dalam kaitannya dengan buku Budhy yang terbit sebelumnya, Reorientasi Pembaruan Islam. Menurut Rumadi, buku Budhy Islam dan Liberalisme ini boleh dibilang sebagai pendamping buku Reorientasi. Sebab, bagi Rumadi, kandungan buku Islam dan Liberalisme sebetulnya penegasan ulang dari salah satu bagian buku Reorientasi. Kalau dalam buku Reorientasi, Budhy dengan cukup baik telah menjabarkan tiga tema penting pembaruan Islam yang meliputi sekularisme, pluralisme dan liberalisme, maka dalam buku yang terbarunya ini, Budhy memisahkan liberalisme sebagai satu tema yang diulas tersendiri. Terlepas dari itu semua, Rumadi memberi apresiasi yang setinggi-tingginya atas terbitnya buku Islam dan Liberalisme. Baginya, terbitnya buku-buku seperti itu amat dibutuhkan untuk kampanye wacana intelektual yang dianggap “kotor” oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), selain juga memberi pengertian yang sebenarnya kepada masyarakat tentang hubungan Islam dan liberalisme.
Rumadi kemudian beranjak kepada dua macam pandangan tentang hubungan Islam dan liberalisme. Pertama, pandangan yang menilai bahwa Islam merupakan bagian dari liberalisme (subset of liberalism). Pandangan ini diwakili oleh Leonard Binder lewat bukuya Islamic Liberalism. Paradigma ini berupaya melihat secara terbuka dialog antara Islam dengan barat dan membiarkannya berdialektika secara take and give, termasuk dengan tradisi lokal arab.
Pandangan kedua, yang diwakili Charles Kurzman, berpendapat sebaliknya, bahwa liberalisme sebagai bagian dari Islam (subset of Islam). Paradigma Kurzman ini ingin mengatakan bahwa pemikiran-pemikiran yang diasumsikan liberal itu juga masih berada dalam sinaran tradisi Islam (to examine liberal muslim in light of Islamic tradition). Dengan kata lain, jika mazhab Binder ingin melihat seberapa liberalkah kaum muslim liberal, sedangkan mazhab Curzman ingin melihat apakah pemikiran liberal itu masih berada dalam konteks islami atau tidak.
Menurut Rumadi, buku Islam dan Liberalisme-nya Budhy ini mengikuti alur berpikirnya Kurzman. Dengan begitu, Islam liberal dalam posisi ini dihadapkan dengan dua lawan sekaligus, Islam adat (customary Islam) dan Islam puritan (revivalist Islam). Terhadap Islam adat, Islam liberal mengontraskan dirinya dengan menilai bahwa telah terjadi percampuradukan antara dua tradisi Islam, tradisi besar dan tradisi kecil. Karena itu, Islam adat dalam pandangan liberal tidak lagi orisinil. Demikian, karena ia terlalu banyak berkompromi dengan budaya lokal, sehingga menjadi Islam – meminjam bahasa Moqsith Ghazali – yang mengalami obesitas.
Sampai di sini, Islam liberal memiliki titik temu dengan Islam revivalis, yakni sama-sama menyeru untuk mereformasi pandangan keagamaan tradisional dan kembali kepada al-Qur’an dan hadis. Bedanya, sementara kaum revivalist mencoba menegaskan modernitas atas nama masa lalu, kaum liberal mencoba menghadirkan masa lalu dengan semangat kemodernan.
Dengan mengikuti alur berpikir Kurzman, Budhy dalam buku ini memetakan kembali pemikiran Islam liberal dalam enam kategori. Pertama, melawan gagasan negara Islam dan variannya. Kedua, mendukung gagasan demokrasi. Ketiga, membela keadilan gender dan hak-hak perempuan. Keempat, mempromosikan pluralisme dan hak-hak minoritas. Kelima, membela kebebasan berpikir, dan keenam, membela gagasan kemajuan.
Buku ini juga mengupas tentang prinsip-prinsip etis Islam liberal seperti keadilan, kemaslahatan, pembebasan-kebebasan, persaudaraan universal, perdamaian dan etika kasih sayang, di samping juga menjelaskan tentang prinsip metodis terkait dengan penafsiran terhadap teks-teks keagamaan. Rumadi menilai, dari semua isu Islam dan liberalisme itu, wilayah hukum Islam menjadi isu yang paling kontroversial dan bahkan sulit untuk ditembus.
Terkait dengan pernyataannya tersebut, menurut Rumadi, setidaknya ada empat alasan mengapa liberalisasi hukum Islam, menjadi proyek yang paling alot dan bahkan paling sering meminta korban. Pertama, secara epistemologis, hukum islam adalah disiplin keilmuan islam yang boleh dibilang paling kokoh. Bahkan semua disiplin keilmuan Islam lainnya, bermuara pada persoalan hukum Islam ini. kedua, secara kontruksional, kekokohan hukum Islam disebabkan karena keterikatannya dengan teks-teks keagamaan. Tak ada satu hukum pun yang bisa lepas dari dominasi nalar bayani ini, hingga jika ada penafsiran hukum yang tak lazim, maka pasti dianggap keluar dari koridor hukum Islam. Ketiga, pola pikir tentang keharusan institusionalisasi hukum Islam melalui negara, terlalu mendominasi wacana hukum Islam. Keempat, kesenjangan antara penggalian hukum (istinbathi) dan penerapan hukum Islam (tathbiqi) yang saling tarik menarik dan tak selalu berjalan beriringan.
Rumadi menutup presentasinya dengan meragukan kemampuan proyek liberalisasi untuk “mejebol” wilayah hukum Islam. Keraguannya ini agaknya cukup beralasan, mengingat para penggiat liberalisme belum mampu –untuk tidak mengatakan tidak mampu – menundukkan “keangkuhan” ilmu hukum dalam Islam (fiqh). Bagi Rumadi, usaha menjebol tembok kokoh hukum Islam setidaknya bisa dimulai dari mencari anasir-anasir yang kelihatannya bisa mendukung agenda liberalisme.
Sementara itu, Luthfi Assaukanie, memulai presentasinya dengan sedikit menyinggung “asbabun nuzul”-nya buku ini. Luthfi melihat buku ini lebih dari sekedar wacana akademis, tapi lebih kepada penyebaran atau kampanye ide. Ini sebabnya, kata Luthfi, mengapa secara kemasan buku ini memiliki desain yang menarik. Sebagai buku yang diturunkan dari kumpulan wawancara sejumlah tokoh liberal Islam di Indonesia, Luthfi juga melihat buku ini sebagai representasi dari epistemic-community di Indonesia, dan Jakarta khususnya.
Dengan menyinggung tulisannya yang tiga tahun lalu pernah di muat di koran Kompas, Luthfi kembali menegaskan bahwa Islam liberal bukanlah JIL. Ini perlu diutarakan kembali, mengingat banyak orang yang sering keliru mengidentikkan JIL dan Islam liberal –persis seperti nama populer sebuah merek produk untuk menyebut produk-produk lain sejenis. Nah, JIL kata Luthfi, hanya salah satu lembaga yang kebetulan menggunakan nama Islam liberal.
Berbeda dengan Rumadi, Luthfi lebih memilih untuk mereview enam nilai-nilai liberalisme tadi yang dijadikan standar oleh Kurzman untuk melihat keliberalan seorang muslim, dikaitkan dengan perkembangan wacana keislaman di Indonesia khususnya yang menyangkut isu-isu Islam liberal dan sejauh mana ide-ide liberal itu berjalan atau tidak.
Pertama, mengenai perlawanan kepada ide negara tuhan (againts theocracy). Menurut Luthfi, umat muslim pada umumnya telah menolak ide negara tuhan, dengan pengecualian kelompok kecil seperti Hizbut Tahrir misalnya, dan mereka yang kurang bersentuhan dengan wacana politik modern. kedua, tentang ide demokrasi. Dalam wacana politik Islam, begitu Luthfi, demokrasi kerapkali dikontraskan dengan teokrasi. Ini pula yang menyebabkan di awal-awal kemerdekaan perdebatan tentang dasar negara amat panas antara kelompok nasionalis sekuler dan kelompok Islam. Tapi, saat ini semua kelompok, termasuk kelompok Islam seperti PKS dan PBB misalnya, sudah bisa menerima ide demokrasi. Hanya saja, persoalan terjadi dalam hal-hal yang menyangkut teknis demokrasi dan penafsirannya. Namun secara general, kata Luthfi, dari segi penerimaan demokrasi ini, muslimin Indonesia boleh dibilang cukup liberal.
Ketiga, mengenai isu gender. Terkait dengan ini, Luthfi mengingatkan, bahwa benar ada ketidakpuasan dalam beberapa aspek terkait dengan kebebasan atau kesetaraan perempuan. Namun begitu, menurut Luthfi, kita harus melihatnya dari perspektif yang proporsional. Wacana gender di Indonesia, boleh dibilang lumayan maju jika misalnya, dibandingkan dengan konteks negara-negara Islam di Timur Tengah. Seperti halnya perdebatan seputar teokrasi, kalaupun ada suara-suara yang kontra dengan kesetaraan dan kebebasan perempuan, itu boleh dibilang hanya suara kelompok kecil yang terbatas. Sampai di sini, terkait urusan gender umat muslim di Indonesia boleh dibilang sudah liberal.
Keempat, masalah hak-hak non muslim. Untuk aspek yang satu ini, begitu Luthfi, bukan hanya bersinggungan dengan hak-hak di luar Islam, tapi yang terpenting adalah isu kebebasan beragama. Nah, untuk yang terakhir ini, Luthfi melihat ada kemunduran dalam tempo sekitar dua puluh-tiga puluh tahun belakangan. Ini ditunjukkan misalnya, oleh hidupnya perdebatan tentang kebebasan membangun rumah ibadah. Setelah masa rezim Soeharto dan hidupnya era demokrasi, kata Luthfi, seharusnya Indonesia melakukan perbaikan dari segi ini. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Jika merujuk kepada indeks kebebasan yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga seperti Freedom House, maka kebebasan beragama di Indonesia mengalami kemunduran. Kemunduran ini tidak lepas dari kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama yang belakangan marak terjadi, mulai dari pembakaran rumah Ibadah, hingga penganiayaan dan sebagainya. Atas dasar ini, maka amat disayangkan karena kita terpaksa memberi rapor merah untuk kebebasan beragama di Indonesia.
Kelima, tentang isu kebebasan berpikir. Untuk aspek ini, seperti halnya isu gender, lagi-lagi Luthfi mengingatkan untuk melihatnya secara proporsional dengan membandingkannya dengan negara-negara lain. Dari sudut penilaian ini, maka Indonesia cenderung kondusif untuk masalah kebebasan berpikir. Ini tentunya dengan tidak menafikan kasus-kasus spesifik seperti adanya ancaman-ancaman yang ditujukan untuk orang tertentu. Namun begitu, kata Luthfi, secara umum Indonesia masih bisa dibilang liberal untuk kebebasan berpikir jika dibandingkan dengan negara-negara Islam lain, seperti Mesir atau bahkan Malaysia misalnya—tempat di mana ancaman kebebasan berpikir dari kaum radikal sangat mengkhawatirkan.
Keenam, mengenai ide kemajuan (the idea of progress). Untuk aspek yang satu ini, Luthfi terang-terangan memberi rapor merah. Alasannya, karena menurut Luthfi, hampir tidak ada dari kelompok Islam di Indonesia yang giat mendiskusikan gagasan-gagasan kemajuan. Ide kemajuan, begitu Luthfi, adalah aspek yang belum tersentuh dalam proyek pembaruan Islam. Dengan mengutip Hourani, Luthfi menjelaskan, bahwa ide kemajuan terkait erat dengan perkembangan dunia keilmuan. Seperti digambarkan Hourani, pada awal-awal abad ke-20 perkembangan keilmuan begitu semarak. Misalnya dengan direpresentasikan oleh perdebatan antara Farah Antoun dan Salamah Musa tentang teori darwin dan asal muasal manusia, atau antara Sayyid Ahmad Khan dan al-Afghani tentang hukum alam (naturalisme). Saat ini, begitu Luthfi, tidak ada kelompok Islam di Indonesia, bahkan dari Muhammadiah dan NU –dua ormas besar Islam Indonesia– yang berani membicarakan isu-isu perkembangan sains dan ilmu pengetahuan dalam kaitannya dengan pembaruan pemahaman keagamaan.
Terakhir, Luthfi menutup diskusinya dengan hitung-hitungan rapor liberalisme muslim Indonesia. “Empat berbanding dua,” katanya. Empat poin, yakni melawan ide teokrasi, dukungan atas demokrasi, gender, dan kebebasan berpikir ia beri rapor biru (positif). Sementara dua poin lainnya, yakni kebebasan beragama dan ide kemajuan ia beri rapor merah (negatif). Melalui hitung-hitungannya ini, Luthfi ingin mengatakan bahwa muslim Indonesia berarti masih layak dibilang dan digolongkan sebagai muslim yang liberal.
Kamis, 08 September 2011
remaja islam
05.06
reza fajrullah MA CILENGA
No comments
keberadaan remaja islam
masa renaja adalah masa peralihan dari anak-anak
menuju dewasa di masa ini para remaja bayak yg terjebak dengan yg namanya
coba-coba akibatnya,banyak anak-anak yg didik sejak kecilnya dengan baik sudah
besar kok malah menjadi tidak baik seperti wanita mereka mulai coba-coba
berdandan memakai make up dan buat laki-laki banyak yg coba-coba untuk merokok
menjadi pecandu narkoba.
dalam kehidupan globalisasi
dan modernisasi di zaman sekarang ini benar2 telah mempengaruhi pergaulan para
remaja,nilai2 keislamaan yg menjungjung tinggi ahlaak kini telah luntur dan di
lupakan di dalam pergaulan para remaja sekarang,mereka hanya menonjolakn gaya2
barat yg sudah jauh dari nilai2 islam,mereka sudah tidak mengenal lagi sopan
santun, tutur bahasa yg baik, etika dan moral yg baik, sudah sulit kita
menemukan seorang wanita yg berpenampilan sebagai seorang muslimah yg ada malah
wanita2 yg suka menontonkan auratnya di muka umum para wanita sudah tidak malu
lagi di bonceng oleh laki2 utk di ajak jalan2 bahkan tidak sedikit wanita yg
hamil di luar nikah akibatnyasetiap tahun lebih dari 100 pasangan Islam
mendaftarkan diri untuk menikah dengan calon istri yang sudah hamil,bahkan
tidaksedikit yg menggugurkan juga, apakah ini yg di sebut sebagai remaja islam?
Sungguh benar2 jauh dari yg di harapkan islam, remaja sekarang sudah mengenal
yg namanya narkoba,narkotika bahkan sampai minuman keras,
keadaan ini di
perparah dengan program yahudi dan nasroni utk menghancurkan islam melalui
penghancuran moral2 remaja,mulai dari pakaian,minuman,budaya bahkan sampai pada
gaya2 raambut,orang2 yahudi menginginkan kkita selaku umat islam hancur moral
dan ahlaknya,dan ternyata program mereka telah sukses membuat remaja islam
jatuh moral dan ahlaknya,keberadaan teklhnologi pun seperti televisi dan
internet ikut mewarnai jatuh nya mora lanak-anak islam, di sisi lain internet
memang banyak manfaatnya,tapi di sisi lain pula internet sangat merugikan yaitu
dengan adanya video-video yg tidak sesuai dengan ajarn-ajaran islam,
kita selaku remaja
seharusnya melihat masa depan bangsa kitamasas remaja jangn di paki dengan
hura-hura tapi harus di pakaiuntuk mencari ilamu untuk bekal di masa dewasa
nanti.,coba bayangan bagaimana keadaan negara kita 20 taahun kemudian? Kayanya
sudah parah bgt kehidupan ini, maka dari itu mari kita jungjung tinggi nilai2
islam yg mengajarkan nilai2 ahlak dan mari kita rangkul kawan2 kita yg sudah
terpengaruhi dunia barat supaya kembali pada ajaran islam;
oleh reza fajrullah
murid ma cilengan klz
xII ipa
Sabtu, 03 September 2011
ALLAH DAN WAKTU
08.14
reza fajrullah MA CILENGA
1 comment
Pertanyaan tentang hubungan Tuhan ke
waktu melibatkan banyak topik yang paling membingungkan dalam
metafisika. Ini termasuk sifat struktur fundamental dari alam semesta
serta sifat hidup Allah sendiri. Hal ini tidak mengherankan bahwa
pertanyaan-pertanyaan tersebut masih terbuka bahkan setelah lebih dari
dua milenia penyelidikan hati-hati. Sementara filsuf sering datang ke
kesimpulan yang cukup menetap di pikiran mereka, mereka bijaksana untuk
mengadakan kesimpulan tersebut dengan tangan terbuka.
Setiap pandangan dunia teistik
mencakup beberapa gagasan tentang bagaimana Allah berhubungan dengan
struktur alam semesta, termasuk ruang dan waktu. Pertanyaan hubungan
Tuhan ke waktu telah menghasilkan sejumlah besar refleksi teologis dan
filosofis. Pandangan tradisional telah bahwa Allah adalah abadi dalam
arti sebagai waktu di luar sama sekali, yaitu, dia ada tapi tidak ada
pada setiap saat dan dia tidak mengalami suksesi temporal. Apa yang
mungkin pandangan dominan para filsuf hari ini adalah bahwa ia adalah
temporal tetapi kekal, yaitu Tuhan tidak pernah mulai ada dan dia tidak
akan pernah keluar dari eksistensi.Dia ada pada setiap saat dalam waktu.
Memutuskan bagaimana cara
terbaik untuk berpikir tentang hubungan Tuhan ke waktu akan melibatkan
membawa menanggung pandangan seseorang tentang aspek lain dari sifat
ilahi. Bagaimana seorang filsuf berpikir tentang pengetahuan Tuhan dan
interaksinya dengan umat-Nya dalam dunia temporal bentuk bagaimana
filsuf yang akan berpikir tentang hubungan Tuhan ke waktu dan
sebaliknya. Selain itu, pertimbangan metafisik lain juga memainkan
peran penting dalam diskusi. Sebagai contoh, sifat waktu dan sifat dari
asal usul alam semesta masing-masing memiliki bantalan tentang apakah
Allah yang terbaik dianggap sebagai abadi atau temporal.
Teisme
adalah pandangan bahwa ada seseorang yang, dalam cara yang signifikan,
seperti setiap orang lain. Orang ini, siapa yang akan kita sebut
"Tuhan," adalah pencipta seluruh alam semesta. Ateisme adalah pandangan
bahwa orang yang demikian tidak ada. Setiap pandangan dunia teistik
mencakup beberapa gagasan tentang bagaimana Allah berhubungan dengan
alam semesta ini. Harus ada account tentang bagaimana Allah berhubungan
dengan peristiwa, sesuatu, dan orang-orang dalam alam semesta dan
tentang bagaimana Allah berhubungan dengan apa yang kita sebut struktur
alam semesta. Artinya, bagaimana Allah berhubungan dengan ruang dan
waktu. Jika Allah adalah pencipta alam semesta, muncul pertanyaan
apakah Tuhan menciptakan ruang dan waktu juga. Jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan mengaktifkan apakah ruang dan waktu merupakan
bagian atau aspek-aspek alam semesta atau apakah mereka lebih mendasar.
Tidak banyak teolog atau filsuf berpikir ruang yang lebih fundamental
dari alam semesta. Mereka berpikir bahwa Tuhan membawa ruang menjadi
ada. Pandangan ini menyiratkan bahwa Allah dalam beberapa tak beruang
akal atau "di luar" ruang. hubungan Tuhan ke waktu, bagaimanapun,
adalah sebuah topik tentang yang ada terus menjadi perselisihan dalam.
Dari Augustine melalui Aquinas, pemikir besar berpendapat bahwa Tuhan
tidak dalam waktu sama sekali. Mereka berpikir tentang Allah sebagai
kekal, dalam arti bahwa ia adalah abadi atau temporal. Sekarang,
pandangan dominan di kalangan filsuf adalah bahwa Allah adalah
temporal. sifat kekal-Nya dianggap sebagai yang kekal, bukan abadi. Dia
tidak pernah datang ke keberadaan dan ia tidak akan pernah keluar dari
eksistensi tapi dia ada di dalam waktu.
Pendukung dari masing-masing
posisi atribut kekekalan kepada Allah. Akibatnya, istilah, "kekal"
telah datang untuk menjadi baik ambigu atau istilah umum yang mencakup
berbagai posisi. Pada artikel ini, istilah, "abadi" akan digunakan
untuk merujuk kepada hubungan Tuhan ke waktu, apapun itu. Istilah
"temporal" akan merujuk kepada Allah sebagai dalam waktu dan "abadi"
akan menunjuk Allah sebagai waktu di luar.
Argumen
yang paling menonjol untuk keabadian ilahi adalah bahwa posisi ini
menawarkan solusi untuk masalah Allah ramalan tindakan bebas. Tantangan
mendamaikan kebebasan manusia dan kemahatahuan ilahi yang terbaik
terlihat jika kita menganggap bahwa Allah adalah temporal. Jika Allah
mahatahu dan sempurna, ia tahu setiap kebenaran, dan ia tidak pernah
salah. Jika manusia bebas dalam arti libertarian, maka beberapa
tindakan seseorang melakukan yang sampai padanya dalam arti bahwa ia
dapat melakukan atau tidak melakukan tindakan tersebut. Masalah muncul
jika sudah seharusnya bahwa seseorang akan (di masa depan) bebas
memilih beberapa tindakan tertentu. Misalkan Jeanie akan memutuskan
besok untuk membuat secangkir teh pukul 4.00 WIB. Jika ini merupakan
tindakan gratis di pihaknya, maka harus berada dalam kekuatannya untuk
membuat secangkir teh atau untuk menahan diri dari membuat itu. Jika
Allah ada di waktu dan tahu segala sesuatu, maka ratusan tahun yang
lalu, ia sudah tahu bahwa Jeanie akan membuat secangkir teh. Ketika
besok datang, bisa Jeanie menahan diri dari membuat secangkir teh?
Seperti Nelson Pike berpendapat, (Pike 1965) ia dapat melakukannya
hanya jika berada dalam kekuasaan untuk mengubah apa itu percaya bahwa
Tuhan dari awal waktu. Jadi, meskipun Tuhan selalu percaya bahwa ia
akan membuat teh, ia harus memiliki kekuatan untuk mengubah apa itu
bahwa Allah percaya. Dia harus mampu membuat kasus bahwa Allah selalu
percaya bahwa dia tidak akan membuat secangkir teh. Banyak filsuf
berpendapat bahwa tidak ada yang semacam ini kekuasaan atas masa lalu,
kebebasan sehingga manusia tidak kompatibel dengan ramalan ilahi.
Jika Allah adalah abadi, namun,
tampaknya masalah ini tidak muncul. Tuhan tidak percaya hal pada poin
waktu dan Jeanie tidak, oleh karena itu, harus memiliki kekuasaan atas
keyakinan terakhir Tuhan. Dia berkuasa memerlukan atas kepercayaan
abadi nya. daya ini tidak terlihat menjadi masalah karena pengetahuan
abadi Allah dari suatu peristiwa dianggap sangat analog dengan
pengetahuan kita sekarang dari suatu peristiwa. Ini adalah terjadi dari
peristiwa yang menentukan isi dari pengetahuan kita tentang acara
tersebut. Demikian juga, itu adalah terjadi dari peristiwa yang
menentukan isi dari pengetahuan Tuhan. Jika Jeanie membuat secangkir
teh, Tuhan tahu itu abadi. Jika dia menahan diri, ia tahu bahwa ia
menahan diri. pengetahuan Allah tidak masa lalu, tetapi itu adalah
abadi.
Orang mungkin berpendapat bahwa
bahkan jika Tuhan adalah temporal, isi nya ramalan ditentukan oleh
terjadi acara dengan cara yang sama. Klaim ini, tentu saja, adalah
benar. Ada dua item yang memungkinkan untuk kesulitan di sini. Pertama,
hanya dalam kasus Allah yang temporal foreknowing teh Jeanie's membuat
bahwa ia harus memiliki kekuatan kontrafakta atas masa lalu, Kedua,
jika Tuhan tahu seratus tahun yang lalu bahwa ia akan membuat teh, ada
rasa di mana dia bisa "masuk di antara" pengetahuan Allah dan acara.
Dengan kata lain, fakta bahwa Tuhan tahu apa yang dia tahu adalah tetap
sebelum dia memulai acara. Jika itu adalah pilihan bebas di pihaknya,
dia masih bisa menahan diri dari membuat teh. Keputusannya untuk
membuat teh atau tidak berdiri temporal antara isi kepercayaan Allah
dan terjadi acara.
Posisi bahwa Allah adalah abadi
sering disebut sebagai solusi terbaik untuk masalah mendamaikan
pengetahuan Allah tentang masa depan dan kebebasan manusia. Jika Allah
adalah abadi, setelah semua, dia tidak apa-apa mengetahui
sebelumnya.Boethius, Anselmus, Aquinas dan banyak orang lain telah
menarik atemporality Allah untuk memecahkan masalah ini.
Sedangkan usulan bahwa Allah
adalah abadi tampaknya menawarkan strategi yang baik, setidaknya satu
masalah tetap signifikan. Masalah ini adalah bahwa nubuat. Misalkan
Tuhan memberitahu Musa, antara lain, yang Jeanie akan membuat secangkir
teh besok. Sekarang kita memiliki situasi yang berbeda sama sekali.
Sementara pengetahuan Tuhan yang Jeanie akan membuat secangkir teh
tidak temporal berada, pengetahuan Musa yang Jeanie akan membuat teh
temporal berada. Selanjutnya, karena informasi yang datang dari Allah,
Musa tidak dapat keliru tentang peristiwa di masa depan (Widerker 1991,
Wierenga, 1991).
Masalah nabi adalah masalah,
beberapa akan membantah, hanya jika Allah benar-benar mengatakan kepada
Musa apa yang Jeanie akan dilakukan. Allah, tampaknya, tidak mengatakan
banyak untuk Musa atau nabi lain. Lagi pula, mengapa harus Tuhan
memberitahu Musa? Musa tentu tidak peduli Jeanie's cangkir teh.Sejak
nubuat semacam ini sangat langka, kita bisa yakin bahwa pengetahuan
Allah tidak mengesampingkan kebebasan kita.Beberapa berpendapat,
bagaimanapun, bahwa jika bahkan mungkin bagi Allah untuk memberitahu
Musa (atau siapapun dalam hal ini) apa yang Jeanie akan lakukan, maka
kita memiliki versi dari masalah kompatibilitas yang sama kita akan ada
jika kita menyatakan bahwa Tuhan ada di waktu dan foreknows membuat teh
nya. Kita bisa menyebutnya versi, "nabi mungkin" masalah.
Jika
masalah nabi mungkin adalah cukup serius untuk menunjukkan bahwa
pengetahuan abadi Allah tindakan masa depan (masa depan, yaitu dari
sudut pandang kita sekarang) tidak sesuai dengan tindakan-tindakan yang
bebas, maka memegang Allah untuk menjadi abadi tidak memecahkan masalah
ramalan . Argumen lain untuk keabadian Allah dimulai dengan ide bahwa
waktu itu sendiri adalah kontingen. Jika waktu adalah kontingen dan
Allah tidak, maka paling tidak mungkin bahwa Allah ada tanpa waktu.
Kesimpulan ini masih jauh dari klaim bahwa Tuhan adalah, pada
kenyataannya, abadi tapi mungkin kita bisa mengatakan lebih. Jika waktu
adalah kontingen, maka itu tergantung pada Allah untuk keberadaannya.
Entah Tuhan membawa waktu ke dalam keberadaan atau ia memegang itu
senantiasa ada. (Klaim bahwa waktu adalah kontingen, meskipun, tidak
kontroversial Argumen untuk kebutuhan waktu akan dipertimbangkan di
bawah..)
Jika Tuhan menciptakan waktu
sebagai bagian dari ciptaan-Nya alam semesta, maka penting apakah atau
tidak alam semesta memiliki awal sama sekali. Meskipun mungkin
kelihatannya aneh untuk berpikir bahwa Allah dapat menciptakan alam
semesta bahkan jika alam semesta tidak memiliki awal, tidak akan aneh
untuk filsuf seperti Thomas Aquinas. Bekerja dalam kerangka Aristotel,
ia menganggap alam semesta yang kekal menjadi kemungkinan yang sangat
nyata. Dia berargumen (dengan cara ketiga) yang bahkan alam semesta
dengan masa lalu yang tak terbatas akan perlu untuk bergantung pada
Allah untuk keberadaannya. Dalam pandangannya, bahkan jika waktu tidak
memiliki awal, itu kontingen. Allah menopang alam semesta, dan waktu
itu sendiri, ada pada setiap saat itu itu ada.